Monday, June 7, 2010

Ujungberung Rebels, Sebuah Fenomena





By. Kimunk

Dalam setiap wawancara, Bebi, penabuh drum Beside, selalu menyebutkan jika mereka adalah band kecil dan tidak menyangka akan memiliki massa lebih dari 1.000 penggemar. Satu yang Bebi lupa, Beside adalah salah satu band yang tumbuh di komunitas metal tertua, sekaligus paling bertahan di Bandung atau mungkin di Indonesia, Ujungberung Rebels.

Ujungberung 1990

Tak jelas kapan rock/metal masuk ke Ujungberung. Agaknya, sejak booming heavy metal di Indonesia pertengahan tahun 1980-an, Ujungberung tak ketinggalan tren ini. Dalam kondisi yang sangat terbatas, beberapa gelintir kaum muda Ujungberung membentuk band dan memainkan lagu-lagu band rock favorit mereka.

Kang Koeple (kakak Yayat-produser Burgerkill) dan Kang Bey (kakak Dani-Jasad) bisa disebutkan sebagai generasi awal. Pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an, mereka memainkan lagu rock semacam Deep Purple, Led Zeppelin, Queen, dan Iron Maiden selain menciptakan lagu sendiri.

Pada era ini, kultur panggung yang sedang berkembang luas adalah kultur festival. Band tanding di sebuah festival musik dan yang menang dihadiahi dapur rekaman. Rudal Rock Band adalah band ikon zaman ini. Penonton selalu tercengang jika menyaksikan band ini di atas pentas.

Ketercengangan itu juga yang menginspirasi generasi adik-adik Kang Koeple dan Kang Bey untuk mendirikan band. Tahun 1991 di Ujungberung lahir band ikon awal Ujugberung Rebels, Funeral yang digawangi Iput, Uwo, Agus, dan Aam. Mereka memainkan lagu-lagu Sepultura, Napalm Death, Terrorizer. Tak lama setelah Funeral, lahir Necromancy yang dibidani Dinan, Oje, Punky, Boy. Mereka memainkan lagu-lagu Carcass dan Megadeth. Dua band ini bermarkas di sebelah barat Ujungberung, tepatnya di kawasan Taruna Parahyangan, Sukaasih.

Di pusat kota Ujungberung, berdiri Orthodox yang membawakan nomor-nomor dari Sepultura dan digawangi Yayat, Dani, Agus, dan Andris. Sementara itu, di Ujungberung sebelah timur, kawasan Tirtawening, Cilengkrang I, berdiri Jasad (Yulli, Tito, Hendrik, Ayi).

Di kawasan Manglayang, Cilengkrang II berdiri band metal Monster dengan motor gitaris Ikin, didukung Yadi, Abo, Yordan, Kenco, dan Kimung. Mereka membawakan lagu-lagu ciptaan sendiri, berkiblat ke musik heavy dan thrash metal.

Faktor teknologi komunikasi berperan besar dalam mempersatukan band-band ini. Masa itu teknologi komunikasi yang berkembang adalah "radio 2 meteran" atau sering disebut brik-brikan. Dinan (Necromancy) kenal dengan Uwo-Agus (Funeral) dari jamming brik-brikan. Pun di kawasan Manglayang, para personel Monster adalah para pecandu brik-brikan. Mereka berbincang, saling tukar informasi, dan akhirnya bertemu, membuat band, dan membangun komunitas.

Faktor kawan sesekolah juga menjadi stimulan terbentuknya sebuah band. SMP 1 Ujungberung--kini SMP 8 Bandung--menyumbangkan Toxic (Addy-Ferly-Cecep-Kudung) yang merupakan cikal bakal dari Forgotten.

Band anak-anak SMP ini berdiri sekitar tahun 1991 atau 1992. Selain SMP Ujungberung, SMA Ujungberung (kini SMA 24 Bandung) dan SMA KP 2 adalah penyumbang utama musisi muda yang kelak menjadi generasi pendobrak Ujungberung Rebels.

Era ini juga ditandai dengan adanya Radio Salam Rama Dwihasta yang memiliki program memutarkan musik-musik metal. Nama programnya "Bedebah", singkatan dari Bandung Death Metal Area. Ketika permetalan saat itu didominasi heavy metal, "Bedebah" sudah menggeber gelombang dengan Napalm Death, Carcass, Terrorrizer, Morbid Angel. Dua penyiarnya adalah Agung dan Dinan, dan kabarnya mereka masih berseragam putih abu saat itu. Di balik usia belia mereka, terdapat semangat pionir dalam upaya menyebarkan musik metal di Ujungberung dan Bandung.

"Homeless crew"

Kultur festival yang dirasa kurang bersahabat karena begitu banyak syarat dalam berekspresi, membuat gerah segelintir musisi muda. Akhir tahun 1993, muncul kekuatan baru dari Ujungberung, ditandai dengan berdirinya Studio Palapa. Studio ini segera menjadi kawah candradimuka band-band Ujungberung hingga melahirkan band-band besar, kru-kru yang solid, dan musisi-musisi jempolan. Studio Palapa juga yang kemudian melahirkan rilisan-rilisan kaset pertama di Indonesia.

Mereka merekam lagu-lagu dengan biaya sendiri, mendistribusikan sendiri, melakukan semua dengan semangat do it yourself. Dari 10 band independen di Indonesia yang tercatat majalah Hai tahun 1995, tiga di antaranya berasal dari Ujungberung. Mereka adalah Sonic Torment, Jasad, dan Sacrilegious. Label dan perusahaan rekaman yang mereka kibarkan adalah Palapa Records.

Tahun 1995, di Ujungberung berdiri sebuah perkumpulan anak-anak metal bawah tanah yang menamakan diri sebagai Extreme Noise Grinding (ENG). ENG digagas antara lainYayat dan Dinan sebagai wadah kreativitas anak-anak Ujungberung. Propaganda awal mereka adalah membuat sebuah media sharing antar dan inter komunitas musik metal bawah tanah berbentuk zine dengan nama Revograms. Zine ini disebut-sebut sebagai zine pertama di komunitas musik bawah tanah dan juga komunitas independen Indonesia.

Revogram digagas Dinan dan dilaksanakan tim redaksi Revogram beranggotakan Ivan, Kimung, Yayat, Dandan, Sule, Gatot. Propaganda selanjutnya adalah membuat acara musik Bandung Berisik Demo Tour yang lalu dikenal sebagai Bandung Berisik I. Di acara ini lima belas band Ujungberung unjuk gigi, ditambah bintang tamu Insanity dari Jakarta.

Setelah Bandung Berisik, dibuat kompilasi band-band Ujungberung. Kompilasi tersebut memuat 16 band metal Ujungberung dan bertajuk Ujungberung Rebels. Kompilasi ini dirilis Musica dengan judul Independen Rebels dengan nilai transaksi Rp 14 juta tahun 1998. Namun demikian, nama Ujungberung Rebels tak lantas pudar. Nama ini lalu lekat erat menjadi identitas komunitas musik metal bawah tanah Ujungberung, berdampingan dengan nama Homeless Crew yang merujuk pada gaya hidup musisi Ujungberung yang hidup di jalanan dan bohemian.

Keuntungan kompilasi Independen Rebels dijadikan modal mendirikan Rebellion, sebuah distro yang menampung kreativitas masyarakat musik bawah tanah oleh Yayat selaku produser. Rebellion belakangan bersinergi dengan Pisces Studio, sebuah studio yang dikelola Dandan setelah pengelola Studio Palapa menjual alat-alat band kepadanya tahun 1997.

Dinamika itu juga ditunjang dengan rilisnya berbagai zine, seperti Ujungberung Update yang khusus mengetengahkan kabar-kabar terbaru komunitas musik metal bawah tanah Ujungberung, Bandung, dan dunia. Setelah Ujungberung Update, lahir Crypt from the Abyss yang diasuh oleh Opick Dead, gitaris Sacrilegious yang khusus memuat kabar dari musik black metal, Loud n` Freaks yang diasuh oleh Toto yang khusus memuat kabar dari scene hardcore dan punk rock, serta The Evening Sun yang diasuh Dandan sang drummer Jasad yang menyuguhkan kabar-kabar mengenai scene music gothic-metal.

Zine yang terus bergerak hingga kini adalah Rottrevore yang diasuh oleh Rio serta Ferly, gitaris Jasad. Zine ini merupakan media propaganda musik metal. Belakangan, Rottrevore berkembang menjadi perusahaan rekaman khusus musik metal. Rottrevore dimiliki grinder Jakarta, Rio, tapi dikelola oleh anak-anak Ujungberung Rebels. Saat itu, komunitas Ujungberung Rebels berkembang semakin besar.

Tempaan para pionir kepada komunitasnya tak kenal henti. Mereka juga membina kru yang terdiri dari teknisi, engineer, hingga semacam "pasukan tempur" khusus yang berani memasang badan jika terjadi bentrokan dengan preman-preman. "Pasukan tempur" itu dinamakan Baby Riots dan dipimpin oleh Butchex, vokalis band The Cruels. Belakangan, setelah situasi semakin kondusif, Baby Riots diarahkan menjadi kru yang khusus menangani masalah keamanan event-event yang digelar Ujungberung Rebels.

"Achievements dan Events"

Didukung kru yang solid, musikalitas para musisi Ujungberung semakin tak terbendung. Berbagai rekaman dirilis di komunitas ini dan mewarnai dinamika pergerakan musik metal bawah tanah di Indonesia. Beberapa band sempat dirilis di luar negeri, seperti Jasad yang dirilis di Amerika dan Forgotten di Jerman dan Eropa Timur.

Pencapaian fenomenal lainnya jelas diraih Burgerkill yang kemudian menjebol label besar, Sony Music Indonesia untuk kontrak enam album, sekaligus mendapatkan penghargaan prestisius di bidang musik dalam ajang Anugerah Musik Indonesia 2004 dengan menyabet kategori Best Metal Production untuk albumnya "Berkarat". Belakangan, Burgerkill meninggalkan label besar mereka setelah merasa tak bisa lagi jalan bersama.

Ini pula yang menjadi titik lahirnya label Revolt! Records yang menaungi album ketiga Burgerkill, "Beyond Coma and Despair". Album ini sangat sukses dan fenomenal dalam pencapaian Burgerkill dan jelas komunitas Ujungberung Rebels. Berbagai kritik positif dan penghargaan datang menyambut album ini. Terakhir, "Beyond Coma and Despair" dinobatkan majalah Rolling Stone sebagai salah satu dari 150 album sepanjang masa di Indonesia. Burgerkill memang layak mendapatkan itu, setelah sebelumnya mereka membayar dengan harga yang tak terhingga, meninggalnya sang vokalis, Ivan Scumbag.

Kuatnya para musisi Ujungberung dalam memegang prinsip membuat komunitas ini tetap hidup dan dinamis hingga sekarang. Idealisme itu kemudian mereka manifestasikan dalam pergelaran-pergelaran musik yang mereka garap sendiri dan pada akhirnya membuaka ruang juga untuk musisi-musisi di luar Ujungberung untuk ikut berpartisipasi dalam dinamika Ujungberung Rebels.

Tiga pergelaran musik yang khas Ujungberung Rebels selain event legendaris Bandung Berisik, adalah Rebel Fest, Rottrevore Death Fest, dan Death Fest. Yang menarik, dari pergelaran ini adalah fakta bahwa pergelaran menjadi salah satu ajang regenerasi komunitas Ujungberung Rebels.

Selain itu, anak-anak Ujungberung menjadikan pergelaran mereka sebagai ajang mempertunjukan kesenian tradisional sebagai pembuka atau penutup acara. Salah satunya adalah kesenian debus yang ditanggap anak-anak Ujungberung di ajang Death Fest II tahun 2007 ketika mereka bersinergi dengan komunitas Sunda Underground. Yang paling mengagumkan dari pergelaran yang digelar anak-anak Ujungberung adalah prestasi mereka mengumpulkan 25.000 penonton dalam acara Bandung Berisik IV di Stadion Persib, Bandung tahun 2004. Pencapaian ini diklaim memecahkan rekor pergelaran musik bawah tanah terbesar se-Asia oleh majalah Time Asia.

Ekonomi kreatif

Dinamika pergerakan Ujungberung Rebels merambah juga sektor perekonomian. Kini, setidaknya ada tiga lahan garapan ekonomi kreatif yang berkembang di komunitas Ujungberung Rebels, yaitu fashion, rekaman, dan literasi. Setidaknya ada enam industri fashion yang digagas para pentolan Ujungberung Rebels, mulai dari Media Graph dan distro Chronic Rock yang dijalankan Eben, Distribute yang dijalankan Pey, Reek yang dijalankan Ferly dan Man, Melted yang dijalankan Amenk dan Andris, CV Mus yang dijalankan Mbie, serta Scumbag Premium Throath.

Di industri rekaman, Ujungberung memiliki dua perusahaan rekaman, Rottrevore Records yang dijalankan Rio dan Ferly serta Revolt! Records yang dijalankan Eben. Sementara itu, di dunia literasi ada Iit dengan toko buku Omuniuum-nya serta Kimung dengan zine MinorBacaanKecil dan penerbitan Minor Books yang menerbitkan biografi Ivan, Myself: Scumbag Beyond Life and Death, sebuah buku fenomenal, bagian dari trilogi sejarah Ujungberung Rebels dan Bandung Underground.

Tentu selain tiga lahan garapan tersebut masih banyak yang lainnya seperti bisnis warnet, toko musik, dan sentra kuliner. Semua lahan garapan pentolan-pentolan anak-anak Ujungberung Rebels tersebut jelas membuka lebar perbaikan perekonomian minimal di kalangan internal komunitas Ujungberung Rebels.

Segala pencapaian itu tak datang dengan sendirinya. Daya konsistensi yang tinggi dan idealisme yang teguh digenggam satu tangan, sementara tangan yang lain menghajar jalanan dengan senjata kreativitas adalah kuncinya. Di atas segalanya, keteguhan prinsip, panceg dina jalur, tidak gamang menghadapi perubahan juga berperan sangat dalam. Segala pencapaian itu harus dikelola dengan sinergi yang positif di antara lahan-lahan garapan kreativitas sehingga akan terus berkembang dan pada gilirannya menyumbangkan hal positif bagi masyarakat kebanyakan. Sebuah sentra bisnis dan pusat pengembangan budaya di Ujungberung pasti akan menjadi wadah yang menampung segala aspirasi dan hasil kreativitas mereka menuju totalitas yang paling maksimal.

Minimal gedung konser yang di dalamnya terdapat juga youth center, dan pusat dokumentasi dan pengembangan riset sosial budaya yang memadai. Berangan-angan? Tidak juga! Panceg dina jalur!