Friday, March 14, 2008

Birokrat Larang Musik Keras, Takut Anak Muda Kritis?












Minggu pagi itu mata saya tertuju pada headline koran Pos Kota. Judulnya "Gubernur Jawa Barat Larang Musik Underground". Judul koran itu cukup menarik bagi saya, hingga saya beli koran itu. Reaksi saya geli bercampur prihatin atas pemberitaan itu. Geli, dengan beberapa kalimat yang dituliskan wartawan itu, seperti idiom Underground yang disalah artikan sebagai musik keras, padahal Underground adalah gerakan bermusik melalui lebel-label kecil , atau dengan ethos Do It yourself (DIY). Geli dengan beberapa kalimat si wartawan yang memasukkan opininya dengan mengatakan penggemar musik Underground berdandan mengerikan, karena bagis ebagian orang dandanan kaum pecinta musik keras itu biasa biasa saja. Tetapi kemudian saya prihatin dengan kebijakan pemerintah Jawa Barat yang mengkebiri ekspresi bermusik dengan melarang pengelola gedung menampilkan panggung musik "Underground".

Karena pemerintah Jawa Barat membuat keputusan sepihak dengan anggapan musik keraslah yang membawa maut. Padahal tidak!. Tragedi konser "Beside" pekan lalu sebenarnya pengulangan dari tragedi yang sama pada konser "Ungu" setahun lampau. Artinya, bukan musik yang harus dituding sebagai penyebab tragedi tewasnya penonton pada kedua konser itu. Tetapi, kesalahan event organizer yang hanya memikirkan keuntungan tanpa peduli dengan hak penonton. Bayangkan, kapasitas gedung AACC yang hanya 600 orang, tapi EO menyediakan tiket 4000 lembar. Konser Inul si "Ratu Ngebor" sekalipun kalau diadakan di AACC dengan cara begitu,pasti bakal menimbulkan tragedi serupa. Apa yang ada di kepala gubernur Jawa Barat Danny Setiawan hingga mengeluarkan larangan yang menghambat ekspresi kaum musik keras di Jawa Barat?. Apalagi produktivitas kaum musik keras di Bandung cukup tinggi. Dimana nanti mereka akan manggung, dimana nanti mereka akan berekspresi kalau pemerintahnya represif begitu?.

Pikiran saya kemudian tertuju kepada sepotong kalimat di Pos Kota yang

mengatakan musik "Underground" akrab dengan kerusuhan dan minuman keras.

Bukankah musik dangdut dan ajep-ajepnya House Music di diskotik juga

begitu?. Bahkan kaum clubers disebut-sebut akrab dengan narkotika jenis

ekstasi dan heroin. Sementara anak-anak Metal dan Punk itu paling hanya

akrab dengan Anggur Cap Orang Tua. Bagi mereka lebih baik membuang uang untuk membuat musik ketimbang beli obat-obatan mahal seperti ekstasi apalagi putauw. Saya bicara seperti ini karena saya pernah menjadi bagian dari mereka, bahkan hingga kini saya masih mendengarkan Slayer, Kreator dan Megadeth di Mp3 Player saya. Saya kemudian menduga , bukan kerusuhan dan minuman kerasnya yang mereka takutkan, tapi anak-anak Metal dan anak-anak Punk ini memang bibit–bibit kaum kritis yang sudah mulai mengkespresikan pemberontakan mereka akan pemerintah dan nilai-nilai hipokrit kaum birokrat melalui lagu. Ini bukan mengada-ada, pada 1998 saya pernah nyebur ke komunitas Jakarta Punk. Usai Soeharto jatuh saya menobatkan diri sebagai Punkers. Saya ambil keputusan itu setelah saya ngeband bareng Wendi Putranto di band yang bernama "Genius Crime". Lirik-lirik kritis lagu band Punk Amerika "Bad Religion" yang sering kita bawa membawa saya kepada keputusan ,"jika kamu mau menyatukan politik dan musik, you have to be a punkers". Puja puji saya kepada Grunge, Hair Metal, Jimmi Hendrix dan Jimmy Page saya tinggalkan dulu. Gantinya saya penuhi isi otak saya dengan musik musik tiga jurus tapi punya lirik yang kritis seperti "Bad Religion" itu. Seiring dengan itu saya malah semakin gila-gilaan "turun ke jalan" meneriakkan yel yel Anti Orde Baru, dan Anti Habibie. Bahkan semakin aktif di organiasasi dan pers mahasiswa. I become a real rebellion!. Saya pun kemudian bersama dengan teman-teman saya termasuk sang pencetus Brainwashed Fanzine , Wendi Putranto yang kini menjadi jurnalis Rolling Stone meluncurkan Brainwahed Fanzine Vol .7, majalah musik keras yang mencampur adukkan politik dan musik. Disamping itu saya juga semakin tertarik membedah lirik –lirik musik keras dan hey!, lirik musik Metal juga begitu, Pantera, Anthrax dan Megadeth juga sering membicarakan kritik sosial dan lirik lirik cercaan terhadap kaum birokrat.

Oleh karena itu saya yakin keputusan pemerintah Jawa Barat untuk melarang panggung musik keras punya tendensi politik. Mereka ingin menumpulkan daya kritis anak-anak muda. Karena yang saya tahu sedikit sekali anak muda yang kritis karena doyan baca buku, tapi saya punya asumsi banyak anak muda yang menjadi kritis melalui jalan seperti yang pernah saya lakoni dulu. Mungkin hal ini dianggap ancaman bagi kaum birokrat sehingga mereka merasa perlu melarang panggungh-panggung musik keras yang mungkin diangap sebagai konsolidasi anak muda kritis. Mungkin nyaris tidak kelihatan maksud-maksud seperti itu. Tapi ini sama saja dengan sikap pemerintah yang mencoba kembali memenjarakan wartawan pada RUU Kebebasan Informasi Publik (KIP).

Artinya, birokrat sudah punya maksud memenjarakan kebebasan seseorang

berkreasi. kalau kata Wiji Thukul tak ada kata lain selain LAWAN!!. LAWAN PENINDASAN!!. LAWAN BIROKRAT BUSUK!!. AYO PERJUANGKAN KEBEBASAN KITA BERKEPRESI!!.


No comments: