Friday, March 14, 2008

Birokrat Larang Musik Keras, Takut Anak Muda Kritis?












Minggu pagi itu mata saya tertuju pada headline koran Pos Kota. Judulnya "Gubernur Jawa Barat Larang Musik Underground". Judul koran itu cukup menarik bagi saya, hingga saya beli koran itu. Reaksi saya geli bercampur prihatin atas pemberitaan itu. Geli, dengan beberapa kalimat yang dituliskan wartawan itu, seperti idiom Underground yang disalah artikan sebagai musik keras, padahal Underground adalah gerakan bermusik melalui lebel-label kecil , atau dengan ethos Do It yourself (DIY). Geli dengan beberapa kalimat si wartawan yang memasukkan opininya dengan mengatakan penggemar musik Underground berdandan mengerikan, karena bagis ebagian orang dandanan kaum pecinta musik keras itu biasa biasa saja. Tetapi kemudian saya prihatin dengan kebijakan pemerintah Jawa Barat yang mengkebiri ekspresi bermusik dengan melarang pengelola gedung menampilkan panggung musik "Underground".

Karena pemerintah Jawa Barat membuat keputusan sepihak dengan anggapan musik keraslah yang membawa maut. Padahal tidak!. Tragedi konser "Beside" pekan lalu sebenarnya pengulangan dari tragedi yang sama pada konser "Ungu" setahun lampau. Artinya, bukan musik yang harus dituding sebagai penyebab tragedi tewasnya penonton pada kedua konser itu. Tetapi, kesalahan event organizer yang hanya memikirkan keuntungan tanpa peduli dengan hak penonton. Bayangkan, kapasitas gedung AACC yang hanya 600 orang, tapi EO menyediakan tiket 4000 lembar. Konser Inul si "Ratu Ngebor" sekalipun kalau diadakan di AACC dengan cara begitu,pasti bakal menimbulkan tragedi serupa. Apa yang ada di kepala gubernur Jawa Barat Danny Setiawan hingga mengeluarkan larangan yang menghambat ekspresi kaum musik keras di Jawa Barat?. Apalagi produktivitas kaum musik keras di Bandung cukup tinggi. Dimana nanti mereka akan manggung, dimana nanti mereka akan berekspresi kalau pemerintahnya represif begitu?.

Pikiran saya kemudian tertuju kepada sepotong kalimat di Pos Kota yang

mengatakan musik "Underground" akrab dengan kerusuhan dan minuman keras.

Bukankah musik dangdut dan ajep-ajepnya House Music di diskotik juga

begitu?. Bahkan kaum clubers disebut-sebut akrab dengan narkotika jenis

ekstasi dan heroin. Sementara anak-anak Metal dan Punk itu paling hanya

akrab dengan Anggur Cap Orang Tua. Bagi mereka lebih baik membuang uang untuk membuat musik ketimbang beli obat-obatan mahal seperti ekstasi apalagi putauw. Saya bicara seperti ini karena saya pernah menjadi bagian dari mereka, bahkan hingga kini saya masih mendengarkan Slayer, Kreator dan Megadeth di Mp3 Player saya. Saya kemudian menduga , bukan kerusuhan dan minuman kerasnya yang mereka takutkan, tapi anak-anak Metal dan anak-anak Punk ini memang bibit–bibit kaum kritis yang sudah mulai mengkespresikan pemberontakan mereka akan pemerintah dan nilai-nilai hipokrit kaum birokrat melalui lagu. Ini bukan mengada-ada, pada 1998 saya pernah nyebur ke komunitas Jakarta Punk. Usai Soeharto jatuh saya menobatkan diri sebagai Punkers. Saya ambil keputusan itu setelah saya ngeband bareng Wendi Putranto di band yang bernama "Genius Crime". Lirik-lirik kritis lagu band Punk Amerika "Bad Religion" yang sering kita bawa membawa saya kepada keputusan ,"jika kamu mau menyatukan politik dan musik, you have to be a punkers". Puja puji saya kepada Grunge, Hair Metal, Jimmi Hendrix dan Jimmy Page saya tinggalkan dulu. Gantinya saya penuhi isi otak saya dengan musik musik tiga jurus tapi punya lirik yang kritis seperti "Bad Religion" itu. Seiring dengan itu saya malah semakin gila-gilaan "turun ke jalan" meneriakkan yel yel Anti Orde Baru, dan Anti Habibie. Bahkan semakin aktif di organiasasi dan pers mahasiswa. I become a real rebellion!. Saya pun kemudian bersama dengan teman-teman saya termasuk sang pencetus Brainwashed Fanzine , Wendi Putranto yang kini menjadi jurnalis Rolling Stone meluncurkan Brainwahed Fanzine Vol .7, majalah musik keras yang mencampur adukkan politik dan musik. Disamping itu saya juga semakin tertarik membedah lirik –lirik musik keras dan hey!, lirik musik Metal juga begitu, Pantera, Anthrax dan Megadeth juga sering membicarakan kritik sosial dan lirik lirik cercaan terhadap kaum birokrat.

Oleh karena itu saya yakin keputusan pemerintah Jawa Barat untuk melarang panggung musik keras punya tendensi politik. Mereka ingin menumpulkan daya kritis anak-anak muda. Karena yang saya tahu sedikit sekali anak muda yang kritis karena doyan baca buku, tapi saya punya asumsi banyak anak muda yang menjadi kritis melalui jalan seperti yang pernah saya lakoni dulu. Mungkin hal ini dianggap ancaman bagi kaum birokrat sehingga mereka merasa perlu melarang panggungh-panggung musik keras yang mungkin diangap sebagai konsolidasi anak muda kritis. Mungkin nyaris tidak kelihatan maksud-maksud seperti itu. Tapi ini sama saja dengan sikap pemerintah yang mencoba kembali memenjarakan wartawan pada RUU Kebebasan Informasi Publik (KIP).

Artinya, birokrat sudah punya maksud memenjarakan kebebasan seseorang

berkreasi. kalau kata Wiji Thukul tak ada kata lain selain LAWAN!!. LAWAN PENINDASAN!!. LAWAN BIROKRAT BUSUK!!. AYO PERJUANGKAN KEBEBASAN KITA BERKEPRESI!!.


Friday, March 7, 2008

Belajar dari Tragedi Konser 9 Februari 2008

Oleh ADJIE ESA POETRA
DI tahun 1970-an, musik cadas tidak pernah menyebut dirinya sebagai komunitas musik indie, mengingat pada saat itu Led Zeplin, Deep Purple, Black Sabath, Uriah Heep, dll merupakan komoditas yang dianakemaskan oleh industri major label. Begitu pun dengan musik cadas di Indonesia semacam Giant Step, God Bless, Superkid, SAS, dll yang lebih suka mengidentifikasikan dirinya sebagai musik underground. Komunitas mereka sangat bangga dengan sebutan itu, mengingat tak semua orang suka akan musik yang kekuatan bunyinya jauh di atas 60 dB atau jauh di atas batas toleransi pendengaran manusia. Istilah musik indie atau musik independen mulai melekat terhadap musik cadas di saat tren industri musik tadi mulai memudar.
Sementara di lain pihak para generasi penerus musik cadas tetap tidak ingin kehilangan aktualisasi diri. Dari situlah kemudian lahir istilah musik independen, sebuah istilah yang mencitrakan berbeda dengan musik yang tengah dimanjakan industri major label. Jargon musik indie dengan cepat bisa mengikat solidaritas, termasuk membangun jaringan musisi dan fans yang luas pula. Bersamaan dengan itu, sejumlah musisi cadas Amerika mencoba memanfaatkan realitas itu dengan membuat dan memasarkan album rekaman dengan caranya sendiri, termasuk melakukan berbagai pertunjukan melalui jaringan yang sudah terbentang luas.
Dalam perjalanannya kemudian sebutan musik indie bukan sebatas bagi aliran musik cadas saja. Musik alternatif sebagaimana yang diusung Cokelat, Mocca, Uthopia di Indonesia, aliran melodik sebagaimana yang diusung Nidji di Indonesia termasuk indie pop sebagaimana yang diusung anak-anak kreatif dari Bandung Pure Suterday terkategorikan sebagai band berbau indie.
Kecuali Cokelat, Mocca, Uthopia, dan Nidji, peredaran kaset/CD aliran musik berbau indie lainnya di Indonesia lebih banyak mengandalkan berbagai distro, atau menjual produk rekamannya di saat mereka melakukan pertunjukan mengingat toko-toko kaset pada umumnya dianggap sangat kurang berpihak.
Gerakan musik indie layak pula disebut sebagai gerakan masyarakat yang terpinggirkan sebab yang terjadi di sana bukan sebatas geliat pemberontakan para musisinya, melainkan secara sangat luas dimanfaatkan pula oleh anak-anak muda yang bukan musisi, namun ingin menggunakan eksistensi aliran hardcore, shoegesh, emo, black metal, dll sebagai gerakan aktualisasi diri.
Pertanyaannya sekarang, mengapa di tahun dua ribuan ini tiba-tiba banyak gedung pertunjukan yang tidak mau memberi izin bagi pertunjukan musik indie? Bahkan mengapa ada sebuah pertunjukan musik indie yang sampai menelan korban sepuluh nyawa dan puluhan lainnya yang terluka?
Perilaku komunitas musik tersebut saat ini amat jauh berbeda dengan para pendahulunya di tahun-tahun tujuh puluhan. Pertunjukan musik superkeras saat ini selalu ditingkahi dengan perilaku para moshing, headbang, atau pogo yang dalam melakukan respons gerak tariannya hampir selalu ditingkahi adegan saling senggol atau saling dorong antar-penontonnya. Orang yang awam terhadap pertunjukan ini bisa dibuat ngeri saat melihatnya. Akan tetapi, bagi mereka perilaku seperti ini dipandang sebagai hal yang lumrah bahkan membanggakan. Setelah selesai pertunjukan, mereka kembali menunjukkan solidaritas yang kental. Malahan terhadap sesama komunitas indie di Bandung, mereka lazim bertegur sapa dengan memanggil lur kependekan dari kata dulur. Panggilan keakraban seperti itu diimplementasikannya pula dengan saling tolong saat ada kendaraan sesama penonton yang mogok atau kehabisan bensin usai menonton.
Punten kapayunan lur! Peryogi dibantos lur? Hatur nuhun lur! serta sapaan lur ... lur ... lur lainnya seakan sudah menjadi bahasa wajib sekalipun sebelumnya tidak saling kenal. Namun, suasana keakraban moshing, pogo, headbang bisa berubah jika ada oknum penonton yang mabuk. Apalagi, bila emosi mereka terus terpacu oleh lagu-lagu tempo cepat yang disertai kilauan lampu berkilat-kilat serta udara yang pengap dan panas.
Berdasarkan keterangan aparat kepolisian, terjadinya tragedi pada konser launching Grup Beside karena di sana telah beredar minuman keras. Penyebab lainnya adalah membeludaknya penonton yang jauh melampaui kapasitas gedung. Keterangan lain yang dikemukakan panitia melalui media massa adalah disebabkan kurangnya tenaga polisi pengaman. Ada pula yang menuduh bahwa pada saat kejadian chaos panitia seakan menghilang, termasuk tudingan disebabkan di Bandung tak ada tempat pertunjukan musik yang memadai, tidak adanya perda tentang pertunjukan, dst.
Namun, sesungguhnya ada yang lebih penting dari pernyataan semacam tadi. Yang menjadi penyebab inti tragedi konser 9 Februari tersebut sebetulnya adalah kita tidak pernah mau belajar banyak, padahal kematian penonton pada pertunjukan musik di Indonesia tidak hanya terjadi di Gedung Asia Afrika Culture Center (AACC).
Jangan dulu bicara muluk-muluk soal penyediaan fasilitas dsb. Yang kecil-kecil saja dulu, seberapa banyak orang tua mereka yang pernah mau menengok mencari tahu warna sosial mereka. Seberapa banyak pula pejabat, wakil rakyat, para pengurus organisasi musik, para wartawan, pendidik, tokoh agama, dsb yang pernah mau sekadar menengok pertunjukan musik mereka. Jangankan untuk menengok pertunjukan musik cadas, untuk pertunjukan musik biasa pun jarang sekali ada para inohong yang mau hadir, apalagi bertahan dari awal hingga akhir. Padahal, kehadiran tersebut bisa menjadi referensi penting guna membuat keputusan.
Realitas pada komunitas indie sesungguhnya tidaklah harus berhenti pada urusan fasilitas, mengingat pada hakikatnya komunitas indie sedang memperjuangkan sebuah pengakuan. Sangat disayangkan bila pada pertunjukan musik harus berkali-kali terjadi korban jiwa, padahal potensi konflik di antara mereka jauh lebih kecil daripada komunitas suporter sepak bola, yang sangat mudah tersulut permusuhan dengan suporter kesebelasan lawan.
Tragedi 9 Februari 2008 merupakan dosa kolektif dari pihak yang tidak mau belajar sungguh-sungguh, termasuk yang kurang mau tahu akan realitas peradaban yang sedang terjadi. Dan lebih khususnya lagi adalah dosa kolektif pihak-pihak yang sering bersentuhan dengan duia pertunjukan, namun tidak mau tahu banyak akan seluk-beluk soal ini. Kita sampaikan belasungkawa kepada sepuluh korban di AACC. Semoga pula konser musik yang lebih aman di masa depan, bisa membuat almarhum/almarhumah semakin bahagia di pangkuan-Nya.***
Penulis, guru vokal di Bandung.

Back TO Underground 2006

Setelah sekian lama mati suri, kini nampaknya komunitas underground bandung mulai membuktikan geliat eksistensinya kembali. Ini bisa dikatakan bahwa gerakan bawah tanah ini tidak habis dimakan oleh trend blink blink yang dibawa oleh MTV… Shit. By The Way

Sepertinya event ini ingin mengulang kembali kejayaannya era “GOR SAPARUA” yang sempat membuat para pecinta musik Underground berada diatas angin It’s Fucking Great…!
Sekitar pukul 11 saya sampai dilokasi saat itu tak nampak satu banner atau umbul-umbul pun dilokasi, Tidak seperti halnya yang terjadi pada sebuah event. yang nampak hanya beberapa pemuda tanggung dengan pakaian serba hitam dan beberapa orang punk rock yang sibuk membuat mohawk rambutnya juga orang-orang yang saling berpelukan yang melepas kerinduan.

Oh… Ya event ini di prakarsai oleh 45 Enterprise yang ternyata dihuni oleh muka-muka lama di scene Underground di kota tercinta ini. Setelah adzan dzuhur nampaknya acara akan segera dimulai saya pun masuk ke gedung tempat diadakannya acara ini, terdengar suara dari host yang sudah familiar dengan para Metalhead dan Punkrockers di Bandung yaitu arin seorang MC senior yang selalu ikut mendukung dan memberikan kontributornya pada setiap event bawah tanah (Salute…!), Arin membuka acara siang itu dengan sangat antusias dan berapi-api.

Distelfink menjadi opening Act disiang itu band pendatang baru ini nampak santai dan tanpa beban memainkan musik yang bernuansa Post Hardcore, penonton hanya duduk manis menikmati suguhan lagu-lagu mereka dan nampak beberapa orang mengangguk-anggukan kepala tanda menikmati. Giliran Infirmities menguasai stage sepertinya mereka tersandung oleh masalah sound system yang sedikit rewel… But The Show Must Go On mereka mampu melewati masalah ini, tiga buah lagu dimainkan tanpa jeda dan mereka tampil POOL… siang hari itu (See You On Next Gigs).

Penampilan berikutnya adalah kolaborasi dari Iyas (Alone At Last), Lukas (Tjukimay), Rashied (Stage 666), Agan (Victim Of Rage), Husni (Cruel On Sad), Ahong (Rosemary), Ubay (Alone At Last), Mereka tampil dengan dua buah lagu milik band Thrash metal Legendaris Brasil SEPULTURA yaitu Refuse / Resist dan Policia tiga orang vocalis ini tampil dengan karakter yang sangat berbeda alhasil mereka tampil luar biasa dan mengingatkan kita pada nuansa SAPARUA pada tahun 90′an.

Giliran Victim Of Rage menduduki Stage sebuah band death fucking metal oldschool yang sudah malang melintang di scene lokal, mereka tampil sangar dengan lagu-lagu lama seperti Funeral Remains, dan korban perang, Agan sang vocalis ternyata masih mampu menguasai stage, dan ukent sang guitaris masih memiliki sayatan guitar yang cukup agresif menciptakan aroma kematian yang sangat kental. Keep Death Metal Rules Man…!

Kali ini Keparat mengambil alih stage sebuah band Punk Rock oldschool yang masih bertahan dengan formasi Aldy (Vocal), Egiw (Bass), Toro (Drum), Kewer (Guitar) mereka mengundang penonton untuk pogo dan hasilnya audience berkerumun di sekitar bibir panggung dan nampak beberapa orang ikut menyanyikan lagu-lagu Band Punk Rock yang selalu tampil setengah sadar ini. Mereka Sukses membakar adrenalin penonton yang hadir. Selepas keparat Giliran Band Hardcore oldschool Full Of Hate tetap sama mereka memberikan perform terbaiknya. Maskom dan kawan-kawan mengajak fansnya untuk ikut bernyanyi bersama, mereka adalah salah satu band hardcore yang tampil pada event ini.
Setelah adzan ashar acara dimulai kembali, Noise Damage, masih ingat dengan band Grindcore yang satu ini? YAAAA….. mereka adalah band Grindcore yang bangkit dari mati surinya, Andri Sabat (Guitar And Vocal), Deni Guick (Drum) walaupun mereka tampil duet mereka mampu memekakan telinga audience yang hadir dengan lagu-lagu lawas mereka seperti Disaster Of society, Moral Busuk, Dan Sebuah lagu milik Brujeria ternyata siang itu Deni Guick tampil kesetanan pukulan snare dan hentakan double pedalnya masih tetap seperti dulu, Dia masih terlihat BAHAYA…!

Pukul 15.30, Penampilan berikutnya adalah Band yang sudah tidak asing lagi bagi para audience JERUJI, ternyata band punk rock gaek ini masih tetap jaya, terbukti dengan menyemutnya penonton di area bibir panggung lagu pertama mereka yaitu Brotha Fucka, disusul dengan lagu-lagu yang lainnya salah satunya yaitu LAWAN sebuah lagu yang menjadi lagu Wajib mereka di setiap Gigs. terlihat para security stage kewalahan menahan penonton yang semakin LIAR… namun damai. Jeruji menutup perform nya dengan Louei Louei milik Black Flag yang di cover version. Two Thumbs Up For You Dude…

Salah satu band yang ditunggu tunggu pada event ini adalah Blind To See, sebuah band Straight edge dengan Ajis To See sang maskot mereka tampil ugal-ugalan seperti halnya band-band yang tampil pada sore hari itu, mereka tidak lupa mebawakan lagu Hits mereka salah satunya adalah Sadar. Mereka menutup acara sore itu…

Selepas Break Magrib Crusade salah satu band Black Metal bandung yang masih eksis mengambil alih stage… pada saat mereka akan membuka perform mereka spontan lampu gedung padam dan gemuruh teriakan penonton pun menjadikan suasana pada malam hari itu semakin panas. Tepat sang vocalis Bram menaiki stage seluruh penonton mengacungkan salam Tiga jari ( \m/ ) tanpa di komando, sepertinya band black metal ini menjadi pengobat rindu para blackers yang hadir pada event ini, kali ini Crusade membawa seorang pemain guitar yang sangat berskill tinggi itu terbukti banyaknya lead-lead guitar di setiap lagunya, Bram sang vocalis tidak kalah unjuk gigi dengan scream-scream khas black metal sanggup memekakan gendang telinga audience. Nampaknya Crusade tampil cukup buas malam hari itu…

Setelah Adzan Isya… giliran Infamy yang mengambil alih stage, band yang cukup lama malang melintang di scene lokal underground tampil dengan vocalis mereka yang agresif, Ajie sang guitaris botak ini sangat terlihat piawai memainkan guitar Ibanez tujuh senarnya dan vocalis mereka yang cukup aktif mampu memancing para penonton untuk melakukan moshing, mereka membawakan lagu andalan mereka Awan Hitam. Nampak terlihat Infamy tidak kalah dengan band-band lain yang tampil pada acara ini. (We’re give you ***** cheerssss).

Setelah Infamy Disusul oleh salah satu band black metal yang di tunggu-tunggu oleh para blackers yaitu Hell Gods yang giliran mengambil alih stage di event ini, Hell Gods adalah salah satu band black metal yang cukup lama dan bisa di bilang band black metal pertama di scene lokal underground Bandung, tampil dengan formasi Ade (Vocal), Abu (Guitar), Lukman (Guitar), Dedi (Bass), ari (Bass), Deni Guick (Drum), Mereka membawakan lagu hits mereka diantaranya Hell sexsual Darkness, In The Battle Of Barbarian War, dan mereka menutup penampilan mereka dengan lagu yang sudah tidak asing lagi yaitu Kabut keabadian, ternyata mereka masih belum ditinggalkan oleh fans setianya.

Diakhir acara giliran Dajjal yang tampil, namun kelihatannya ada sedikit keterlambatan, untuk mengisi kosong nya acara pada malam hari itu munculah band kolarasi dari viki blind to see, agan beton, toro keparat, kiming dajjal, dan ajis blind to see membawaka lagu yang sangat familiar di telinga punk rockers yaitu milik Sex Pistol - Anarchy in The UK. Pada tengah-tengah lagu muncul vocalis berbadan tambun yang merupakan salah satu anggota Masberto alias masarakat bertato ThemFuck salah satu pentolan Jeruji ikut ambil bagian pada beberapa riff riff lagu dan akhirnya melakukan moshing, disusul oleh ajis yg juga ikut-ikutan moshing.

akhirnya sampai pada penghujung acara, Giliran Dajjal yang tampilan teaterikal dengan menghadirkan 5 orang yang bermandi lumpur bak zombie-zombie… haus darah. dibarengi oleh dewa sang guitaris dan ronald sang drumers yang mengiringi zombie-zombie itu untuk melakukan happening art. Disusul oleh kiming Bassist yang berambut gimbal yang berkostum seperti seorang kesatria Barbarian dan Barock sang vocalis yang juga berkostum sama. Malam itu Dajjal perform berbeda dengan band-band yang tampil sebelumnya dan terlihat penonton terbawa emosi dengan melakukan pogo dan moshing, akhirnya Dajjal menutup Acara Back To Underground 2006.

Saat itu saya berjalan keluar gedung dan nampak ratusan orang berkerumun di area pintu keluar gedung, terlihat wajah-wajah puas keluar meninggalkan arena event pada malam itu. Semoga acara ini menjadikan motivasi buat event organizer band audience untuk tetap terus kreatif namun tidak arogan.

UnWhite - Bandungmagazine.com

PROGRESIFITAS MUSIK UNDERGROUND DI iNDONESIA/ Sebuah Catatan Sejarah

Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy (Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70- an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar' dan `ekstrem' untuk ukuran jamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah hanya sedikit saja album rekaman yang terlahir dari band-band rock generasi 70-an ini. Dekade 80-an tercatat sebagai masa perkembangbiakan rock n' roll dan mulai bergeraknya subkultur ini ke arah industri. Tokoh sentral yang dominan mewarnai perkembangan musik rock di era 80-an tentu saja Log Zhelebour asal Surabaya

Mantan pengusaha rental lampu disko yang nekat mengkapitalisasi musik rock berkat dukungan perusahaan rokok ternama ini secara berkala sukses mengorganisir Festival Rock Se- Indonesia yang babak finalnya selalu digelar di kota pahlawan Surabaya. Gara-gara festival inilah media massa nasional kemudian mengklaim Surabaya sebagai barometer musik rock Indonesia. Ajang kompetisi band-band rock nasional yang digelar sejak 1984 ini di kemudian hari banyak melahirkan alumni-alumni rock kugiran yang namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album ketiga God Bless, "Semut Hitam" yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia. Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda sedang mengalami demam musik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band- band yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota- kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut

Di Jakarta sendiri komunitas metal pertama kali tampil di depan publik pada awal tahun 1988. Komunitas anak metal (saat itu istilah underground belum populer) ini biasa hang out di Pid Pub, sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Menurut Krisna J. Sadrach, frontman Sucker Head, selain nongkrong, anak-anak yang hang out di sana oleh Tante Esther, owner Pid Pub, diberi kesempatan untuk bisa manggung di sana. Setiap malam minggu biasanya selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan kebanyakan band-band tersebut mengusung musik rock atau metal. Band-band yang sering hang out di scene Pid Pub ini antara lain Roxx (Metallica & Anthrax), Sucker Head (Kreator & Sepultura), Commotion Of Resources (Exodus), Painfull Death, Rotor (Kreator), Razzle (GN'R), Parau (DRI & MOD), Jenazah, Mortus hingga Alien Scream (Obituary). Beberapa band diatas pada perjalanan berikutnya banyak yang membelah diri menjadi band-band baru. Commotion Of Resources adalah cikal bakal band gothic metal Getah, sedangkan Parau adalah embrio band death metal lawas Alien Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull Death selanjutnya membentuk grup industrial Sic Mynded di Amerika Serikat bersama Rudi Soedjarwo (sutradara Ada Apa Dengan Cinta?). Rotor sendiri dibentuk pada tahun 1992 setelah cabutnya gitaris Sucker Head, Irvan Sembiring yang merasa konsep musik Sucker Head saat itu masih kurang ekstrem baginya. Semangat yang dibawa para pendahulu ini memang masih berkutat pola tradisi `sekolah lama', bangga menjadi band cover version! Di antara mereka semua, hanya Roxx yang beruntung bisa rekaman untuk single pertama mereka, "Rock Bergema". Ini terjadi karena mereka adalah salah satu finalis Festival Rock Se-Indonesia ke-V. Mendapat kontrak rekaman dari label adalah obsesi yang terlalu muluk saat itu. Jangankan rekaman, demo rekaman bisa diputar di radio saja mereka sudah bahagia. Saat itu stasiun radio yang rutin mengudarakan musik- musik rock/metal adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya dan Radio SK. Dari beberapa radio tersebut mungkin yang paling legendaris adalah Radio Mustang. Mereka punya program bernama Rock N' Rhythm yang mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain medium radio, media massa yang kerap mengulas berita- berita rock/metal pada waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid Citra Musik dan Majalah Vista.

. Selain hang out di Pid Pub tiap akhir pekan, anak-anak metal ini sehari-harinya nongkrong di pelataran Apotik Retna yang terletak di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang dulu sempat nongkrong bareng (groupies?) anak-anak metal ini antara lain Ayu Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga Krisdayanti. Aktris Ayu Azhari sendiri bahkan sempat dipersunting sebagai istri oleh (alm) Jodhie Gondokusumo yang merupakan vokalis Getah dan juga mantan vokalis Rotor. Tak seberapa jauh dari Apotik Retna, lokasi lain yang sering dijadikan lokasi rehearsal adalah Studio One Feel yang merupakan studio latihan paling legendaris dan bisa dibilang hampir semua band- band rock/metal lawas ibukota pernah rutin berlatih di sini. Selain Pid Pub, venue alternatif tempat band-band rock underground manggung pada masa itu adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café). Diluar itu, pentas seni SMA dan acara musik kampus sering kali pula di "infiltrasi" oleh band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara musik kampus Universitas Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia (Serpong) hingga Universitas Jayabaya (Pulomas). Berkonsernya dua supergrup metal internasional di Indonesia, Sepultura (1992) dan Metallica (1993) memberi kontribusi cukup besar bagi perkembangan band-band metal sejenis di Indonesia. Tak berapa lama setelah Sepultura sukses "membakar" Jakarta dan Surabaya, band speed metal Roxx merilis album debut self-titled mereka di bawah label Blackboard. Album kaset ini kelak menjadi salah satu album speed metal klasik Indonesia era 90-an. Hal yang sama dialami pula oleh Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua hari berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album thrash metal major labelnya yang pertama di Indonesia, Behind The 8th Ball (AIRO). Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka konser Metallica, para personel Rotor (minus drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri Paman Sam untuk mengadu nasib.

Sucker Head sendiri tercatat paling telat dalam merilis album debut dibanding band seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal, Aquarius Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album `The Head Sucker'. Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album. Dari sedemikian panjangnya perjalanan rock underground di tanah air, mungkin baru di paruh pertama dekade 90-anlah mulai banyak terbentuk scene-scene underground dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di Jakarta sendiri konsolidasi scene metal secara masif berpusat di Blok M sekitar awal 1995. Kala itu sebagian anak-anak metal sering terlihat nongkrong di lantai 6 game center Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang out adalah bertukar informasi tentang band-band lokal dan internasional, barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah. Pada era ini hype musik metal yang masif digandrungi adalah subgenre yang makin ekstrem yaitu death metal, brutal death metal, grindcore, black metal hingga gothic/doom metal. Beberapa band yang makin mengkilap namanya di era ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan sebagainya. Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996 malah tercatat sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di Jakarta dengan judul `It's A Proud To Vomit Him'. Album ini direkam secara profesional di Studio Triple M, Jakarta dengan sound engineer Harry Widodo (sebelumnya pernah menangani album Roxx, Rotor, Koil, Puppen dan PAS). Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran fanzine musik underground pertama di Jakarta, Brainwashed zine. Edisi pertama Brainwashed terbit 24 halaman dengan menampilkan cover Grausig dan profil band Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di komputer berbasis system operasi Windows 3.1 dan lay-out cut n' paste tradisional, Brainwashed kemudian diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi milik saudara penulis sendiri. Di edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band hardcore, punk bahkan ska. Setelah terbit fotokopian hingga empat edisi, di tahun 1997 Brainwashed sempat dicetak ala majalah profesional dengan cover penuh warna. Hingga tahun 1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis menggagas format e-zine di internet (www.bisik.com). Media-media serupa yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid Noise zine, Gerilya zine, Rottrevore zine, Cosmic zine dan sebagainya. 29 September 1996 menandakan dimulainya sebuah era baru bagi perkembangan rock underground di Jakarta. Tepat pada hari itulah digelar acara musik indie untuk pertama kalinya di Poster Café. Acara bernama "Underground Session" ini digelar tiap dua minggu sekali pada malam hari kerja. Café legendaris yang dimiliki rocker gaek Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan membesarkan scene musik indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif. Lahirnya scene Brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era 1997 – 2000 sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa Jakarta dengan Bandung terjadi juga di tempat ini.

Getah, Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang `kenyang' manggung di sana. 10 Maret 1999 adalah hari kematian scene Poster Café untuk selama- lamanya. Pada hari itu untuk terakhir kalinya diadakan acara musik di sana (Subnormal Revolution) yang berujung kerusuhan besar antara massa punk dengan warga sekitar hingga berdampak hancurnya beberapa mobil dan unjuk giginya aparat kepolisian dalam membubarkan massa. Bubarnya Poster Café diluar dugaan malah banyak melahirkan venue- venue alternatif bagi masing-masing scene musik indie. Café Kupu- Kupu di Bulungan sering digunakan scene musik ska, Pondok Indah Waterpark, GM 2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk scene Brit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng untuk gigs punk/hardcore dan juga indie pop. Belakangan BB's Bar yang super- sempit di Menteng sering disewa untuk acara garage rock-new wave- mellow punk juga rock yang kini sedang hot, seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, C'mon Lennon, Killed By Butterfly, Sajama Cut, Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin yang paling `netral' dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yang terletak di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13 Januari 2002 silam, Puppen `menghabisi riwayat' mereka dalam sebuah konser bersejarah yang berjudul, "Puppen : Last Show Ever", sebuah rentetan show akhir band Bandung ini sebelum membubarkan diri.

Scene Punk/Hardcore/Brit/Indie Pop Invasi musik grunge/alternative dan dirilisnya album Kiss This dari Sex Pistols pada tahun 1992 ternyata cukup menjadi trigger yang ampuh dalam melahirkan band-band baru yang tidak memainkan musik metal. Misalnya saja band Pestol Aer dari komunitas Young Offender yang diawal kiprahnya sering meng-cover lagu-lagu Sex Pistols lengkap dengan dress-up punk dan haircut mohawknya. Uniknya, pada perjalanan selanjutnya, sekitar tahun 1994, Pestol Aer kemudian mengubah arah musik mereka menjadi band yang mengusung genre british/indie pop ala The Stone Roses. Konon, peristiwa historik ini kemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi perkembangan scene british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997 mereka sempat merilis album debut bertitel `…Jang Doeloe'. Generasi awal dari scene brit pop ini antara lain adalah band Rumahsakit, Wondergel, Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut, Room-V, Parklife hingga Death Goes To The Disco. Pestol Aer memang bukan band punk pertama, ibukota ini di tahun 1989 sempat melahirkan band punk/hardcore pionir Antiseptic yang kerap memainkan nomor-nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI sampai Sex Pistols. Lukman (Waiting Room/The Superglad) dan Robin (Sucker Head/Noxa) adalah alumnus band ini juga. Selain sering manggung di Jakarta, Antiseptic juga sempat manggung di rockfest legendaris Bandung, Hullabaloo II pada akhir 1994. Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel `Finally' baru rilis delapan tahun kemudian (1997) secara D.I.Y. Ada juga band alternatif seperti Ocean yang memainkan musik ala Jane's Addiction dan lainnya, sayangnya mereka tidak sempat merilis rekaman.

elain itu, di awal 1990, Jakarta juga mencetak band punk rock The Idiots yang awalnya sering manggung meng-cover lagu-lagu The Exploited. Nggak jauh berbeda dengan Antiseptic, baru sembilan tahun kemudian The Idiots merilis album debut mereka yang bertitel `Living Comfort In Anarchy' via label indie Movement Records. Komunitas- komunitas punk/hardcore juga menjamur di Jakarta pada era 90-an tersebut. Selain komunitas Young Offender tadi, ada pula komunitas South Sex (SS) di kawasan Radio Dalam, Subnormal di Kelapa Gading, Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi, Locos di Blok M hingga SID Gank di Rawamangun. Sementara rilisan klasik dari scene punk/hardcore Jakarta adalah album kompilasi Walk Together, Rock Together (Locos Enterprise) yang rilis awal 1997 dan memuat singel antara lain dari band Youth Against Fascism, Anti Septic, Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Album kompilasi punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One, Still Proud (Movement Records) yang berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots, Cryptical Death hingga Out Of Control. Scene Luar Jakarta Dalam gerakan Bawah Tanah scene Bandung Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel "Masaindahbangetsekalipisan." Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.

Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel "Four Through The S.A.P" ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang self-titled. Album ini kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya. Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul "Golok Berbicara". Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional. Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan jug lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.

Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di `baptis' di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground. Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar liputannya bagi band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine Bandung, Death Rock Star (www.deathrockstar.tk) untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya! Scene Jogjakarta Kota pelajar adalah julukan formalnya, tapi siapa sangka kalau kota ini ternyata juga menjadi salah satu scene rock underground terkuat di Indonesia? Well, mari kita telusuri sedikit sejarahnya.

Komunitas metal underground Jogjakarta salah satunya adalah Jogja Corpsegrinder. Komunitas ini sempat menerbitkan fanzine metal Human Waste, majalah Megaton dan menggelar acara metal legendaris di sana, Jogja Brebeg. Hingga kini acara tersebut sudah terselenggara sepuluh kali! Band-band metal underground lawas dari kota ini antara lain Death Vomit, Mortal Scream, Impurity, Brutal Corpse, Mystis, Ruction. Untuk scene punk/hardcore/industrial-nya yang bangkit sekitar awal 1997 tersebutlah nama Sabotage, Something Wrong, Noise For Violence, Black Boots, DOM 65, Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank Soekamti. Sedangkan untuk scene indie rock/pop, beberapa nama yang patut di highlight adalah Seek Six Sick, Bangkutaman, Strawberry's Pop sampai The Monophones. Selain itu, band ska paling keren yang pernah terlahir di Indonesia, Shaggy Dog, juga berasal dari kota ini. Shaggy Dog yang kini dikontrak EMI belakangan malah sedang asyik menggelar tur konser keliling Eropa selama 3 bulan! Kota gudeg ini tercatat juga pernah menggelar Parkinsound, sebuah festival musik elektronik yang pertama di Indonesia. Parkinsound #3 yang diselenggarakan tanggal 6 Juli 2001 silam di antaranya menampilkan Garden Of The Blind, Mock Me Not, Teknoshit, Fucktory, Melancholic Bitch hingga Mesin Jahat

Scene Surabaya Scene underground rock di Surabaya bermula dengan semakin tumbuh- berkembangnya band-band independen beraliran death metal/grindcore sekitar pertengahan tahun 1995. Sejarah terbentuknya berawal dari event Surabaya Expo (semacam Jakarta Fair di DKI - Red) dimana band- band underground metal seperti, Slowdeath, Torture, Dry, Venduzor, Bushido manggung di sebuah acara musik di event tersebut. Setelah event itu masing-masing band tersebut kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi yang bernama Independen. Base camp dari organisasi yang tujuan dibentuknya sebagai wadah pemersatu serta sarana sosialisasi informasi antar musisi/band underground metal ini waktu itu dipusatkan di daerah Ngagel Mulyo atau tepatnya di studio milik band Retri Beauty (band death metal dengan semua personelnya cewek, kini RIP - Red). Anggota dari organisasi yang merupakan cikal bakal terbentuknya scene underground metal di Surabaya ini memang sengaja dibatasi hanya sekitar 7-10 band saja. Rencana pertama Independen waktu itu adalah menggelar konser underground rock di Taman Remaja, namun rencana ini ternyata gagal karena kesibukan melakukan konsolidasi di dalam scene. Setelah semakin jelas dan mulai berkembangnya scene underground metal di Surabaya pada akhir bulan Desember 1997 organisasi Independen resmi dibubarkan. Upaya ini dilakukan demi memperluas jaringan agar semakin tidak tersekat-sekat atau menjadi terkotak-kotak komunitasnya. Pada masa-masa terakhir sebelum bubarnya organisasi Independen, divisi record label mereka tercatat sempat merilis beberapa buah album milik band-band death metal/grindcore Surabaya. Misalnya debut album milik Slowdeath yang bertitel "From Mindless Enthusiasm to Sordid Self-Destruction" (September 96), debut album Dry berjudul "Under The Veil of Religion" (97), Brutal Torture "Carnal Abuse", Wafat "Cemetery of Celerage" hingga debut album milik Fear Inside yang bertitel "Mindestruction". Tahun-tahun berikutnya barulah underground metal di Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah. Sebagai ganti Independen kemudian dibentuklah Surabaya Underground Society (S.U.S) tepat di malam tahun baru 1997 di kampus Universitas 45, saat diselenggarakannya event AMUK I. Saat itu di Surabaya juga telah banyak bermunculan band-band baru dengan aliran musik black metal. Salah satu band death metal lama yaitu, Dry kemudian berpindah konsep musik seiring dengan derasnya pengaruh musik black metal di Surabaya kala itu. Hanya bertahan kurang lebih beberapa bulan saja, S.U.S di tahun yang sama dilanda perpecahan di dalamnya. Band-band yang beraliran black metal kemudian berpisah untuk membentuk sebuah wadah baru bernama ARMY OF DARKNESS yang memiliki basis lokasi di daerah Karang Rejo. Berbeda dengan black metal, band-band death metal selanjutnya memutuskan tidak ikut membentuk organisasi baru. Selanjutnya di bulan September 1997 digelar event AMUK II di IKIP Surabaya. Event ini kemudian mencatat sejarah sendiri sebagai event paling sukses di Surabaya kala itu. 25 band death metal dan black metal tampil sejak pagi hingga sore hari dan ditonton oleh kurang lebih 800 – 1000 orang. Arwah, band black metal asal Bekasi juga turut tampil di even tersebut sebagai band undangan. Scene ekstrem metal di Surabaya pada masa itu lebih banyak didominasi oleh band-band black metal dibandingkan band death metal/grindcore. Mereka juga lebih intens dalam menggelar event- event musik black metal karena banyaknya jumlah band black metal yang muncul. Tercatat kemudian event black metal yang sukses digelar di Surabaya seperti ARMY OF DARKNESS I dan II. Tepat tanggal 1 Juni 1997 dibentuklah komunitas underground INFERNO 178 yang markasnya terletak di daerah Dharma Husada (Jl. Prof. DR. Moestopo, Red). Di tempat yang agak mirip dengan rumah-toko (Ruko) ini tercatat ada beberapa divisi usaha yaitu, distro, studio musik, indie label, fanzine, warnet dan event organizer untuk acara-acara underground di Surabaya. Event-event yang pernah di gelar oleh INFERNO 178 antara lain adalah, STOP THE MADNESS, TEGANGAN TINGGI I & II hingga BLUEKHUTUQ LIVE. Band-band underground rock yang kini bernaung di bawah bendera INFERNO 178 antara lain, Slowdeath, The Sinners, Severe Carnage, System Sucks, Freecell, Bluekuthuq dan sebagainya. Fanzine metal asal komunitas INFERNO 178, Surabaya bernama POST MANGLED pertama kali terbit kala itu di event TEGANGAN TINGGI I di kampus Unair dengan tampilnya band-band punk rock dan metal. Acara ini tergolong kurang sukses karena pada waktu yang bersamaan juga digelar sebuah event black metal. Sayangnya, hal ini juga diikuti dengan mandegnya proses penggarapan POST MANGLED Zine yang tidak kunjung mengeluarkan edisinya yang terbaru hingga kini. Maka, untuk mengantisipasi terjadinya stagnansi atau kesenjangan informasi di dalam scene, lahirlah kemudian GARIS KERAS Newsletter yang terbit pertama kali bulan Februari 1999. Newsletter dengan format fotokopian yang memiliki jumlah 4 halaman itu banyak mengulas berbagai aktivitas musik underground metal, punk hingga HC tak hanya di Surabaya saja tetapi lebih luas lagi.

Respon positif pun menurut mereka lebih banyak datang justeru dari luar kota Surabaya itu sendiri. Entah mengapa, menurut mereka publik underground rock di Surabaya kurang apresiatif dan minim dukungannya terhadap publikasi independen macam fanzine atau newsletter tersebut. Hingga akhir hayatnya GARIS KERAS Newsletter telah menerbitkan edisinya hingga ke- 12. Divisi indie label dari INFERNO 178 paling tidak hingga sekitar 10 rilisan album masih tetap menggunakan nama Independen sebagai nama label mereka. Baru memasuki tahun 2000 yang lalu label INFERNO 178 Productions resmi memproduksi album band punk tertua di Surabaya, The Sinners yang berjudul "Ajang Kebencian". Selanjutnya label INFERNO 178 ini akan lebih berkonsentrasi untuk merilis produk- produk berkategori non-metal. Sedangkan untuk label khusus death metal/brutal death/grindcore dibentuklah kemudian Bloody Pigs Records oleh Samir (kini gitaris TENGKORAK) dengan album kedua Slowdeath yang bertitel "Propaganda" sebagai proyek pertamanya yang dibarengi pula dengan menggelar konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower sekitar bulan September 2000 lalu yang dihadiri oleh 150- an penonton. Album ini sempat mencatat sold out walau masih dalam jumlah terbatas saja. Ludes 200 keping tanpa sisa.

Scene Malang Kota berhawa dingin yang ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Surabaya ini ternyata memiliki scene rock underground yang "panas" sejak awal dekade 90-an. Tersebutlah nama Total Suffer Community (T.S.C) yang menjadi motor penggerak bagi kebangkitan komunitas rock underground di Malang sejak awal 1995. Anggota komunitas ini terdiri dari berbagai macam musisi lintas-scene, namun dominasinya tetap saja anak-anak metal. Konser rock underground yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini. Acara bertajuk Parade Musik Underground tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal), Sekarat (death metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrial death metal), No Man's Land (punk), The Babies (punk) dan juga band-band asal Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The Sinners (punk). Beberapa band Malang lainnya yang patut di beri kredit antara lain Keramat, Perish, Genital Giblets, Santhet dan tentunya Rotten Corpse. Band yang terakhir disebut malah menjadi pelopor style brutal death metal di Indonesia. Album debut mereka yang bertitel "Maggot Sickness" saat itu menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Bali karena komposisinya yang solid dan kualitas rekamannya yang top notch. Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di Indonesia.

Namanya Mindblast zine yang diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan Samack pada akhir 1995. Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kini eksis di band crust-grind gawat, Extreme Decay. Sementara indie label pionir yang hingga kini masih bertahan serta tetap produktif merilis album di Malang adalah Confused Records Scene Bali Berbicara scene underground di Bali kembali kita akan menemukan komunitas metal sebagai pelopornya. Penggerak awalnya adalah komunitas 1921 Bali Corpsegrinder di Denpasar. Ikut eksis di dalamnya antara lain, Dede Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner dan Sabdo Moelyo. Dede adalah editor majalah metal Megaton yang terbit di Jogjakarta, Putra Pande adalah salah satu pionir webzine metal Indonesia Corpsegrinder (kini Anorexia Orgasm) sejak 1998, Age adalah pengusaha distro yang pertama di Bali dan Moel adalah gitaris/vokalis band death metal etnik, Eternal Madness yang aktif menggelar konser underground di sana. Nama 1921 sebenarnya diambil dari durasi siaran program musik metal mingguan di Radio Cassanova, Bali yang berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00 WITA. Awal 1996 komunitas ini pecah dan masing-masing individunya jalan sendiri-sendiri. Moel bersama EM Enterprise pada tanggal 20 Oktober 1996 menggelar konser underground besar pertama di Bali bernama Total Uyut di GOR Ngurah Rai, Denpasar. Band-band Bali yang tampil di antaranya Eternal Madness, Superman Is Dead, Pokoke, Lithium, Triple Punk, Phobia, Asmodius hingga Death Chorus. Sementara band- band luar Balinya adalah Grausig, Betrayer (Jakarta), Jasad, Dajjal, Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan Death Vomit (Jogjakarta). Konser ini sukses menyedot sekitar 2000 orang penonton dan hingga sekarang menjadi festival rock underground tahunan di sana.

Salah satu alumni Total Uyut yang sekarang sukses besar ke seantero nusantara adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead. Mereka malah menjadi band punk pertama di Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony Music Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang stand out di antaranya adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes dan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album ke tiga mereka dalam waktu dekat. Memasuki era 2000-an scene indie Bali semakin menggeliat. Kesuksesan S.I.D memberi inspirasi bagi band-band Bali lainnya untuk berusaha lebih keras lagi, toh S.I.D secara konkret sudah membuktikan kalau band `putera daerah' pun sanggup menaklukan kejamnya industri musik ibukota. Untuk mendukung band-band Bali, drummer S.I.D, Jerinx dan beberapa kawannya kemudian membuka The Maximmum Rock N' Roll Monarchy (The Max), sebuah pub musik yang berada di jalan Poppies, Kuta. Seringkali diadakan acara rock reguler di tempat ini. Indie Indonesia Era 2000-an Titik Temu antara istilah Indie dan Underground Major Label vs Indie Label/ Bagaimana pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an? Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam. Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan. Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom `indie' dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non- mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasik mengenai istilah `indie atau underground' ini di tanah air. Sebagian orang memandang istilah `underground' semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang `sell-out', entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih `elastis' dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh meninggalkan istilah ortodoks `underground' itu tadi.

. Ditengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi `panglima' sekarang ini. …And history is still in the making here….. 20 Album Bawah Tanah Revolusioner di Indonesia 1. ROXX – Roxx
2. ROTOR – Behind The 8th Ball
3. PAS – Four Through The S.A.P
4. SUCKER HEAD – The Head Sucker
5. PUPPEN – Not A Pup E.P.
6.PURE SATURDAY – Pure Saturday
7.JASAD – C'est La Vie
8. ROTTEN CORPSE – Maggot Sickness
9. TENGKORAK – It's A Proud To Vomit Him
10.MASAINDAHBANGETSEKALIPISAN – v/a
11. WAITING ROOM – Waiting Room
12. WALK TOGETHER, ROCK TOGETHER – v/a hc
13. PESTOL AER - …Jang Doeloe
14. RUMAHSAKIT – Nol Derajat
15. BETRAYER – Grand Voice Society
16. GRAUSIG – Abandon, Forgotten and Rotting Alone
17. ETERNAL MADNESS – Bongkar Batas
18. KOIL – Megaloblast
19. STEPFORWARD – Stories of Undying Hope
20. JKT : SKRG – v/a